Kamis, 21 Juli 2011

pendidikan yang bermutu

Dalam sejarah panjang pendidikan di Indonesia banyak sekali terjadi pergantian dan rancang-bangun sistem pendidikan. Ini terjadi [mungkin sejak awal berdirinya republik ini] karena setiap Menteri Pendidikan atau setiap rezim tepatnya memiliki cara pandang dan ideologinya sendiri. Hal ini juga terkait dengan situasi dan kondisi sebuah pemerintahan atau rezim. 

Kalau pada masa revolusi sistem pendidikan di Indonesia lebih didasarkan dan ditujukan sebagai semangat perlawanan terhadap sistem penindasan [kebudayaan dan politik] Kolonial. Sistem pendidikan di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan diri pada karakter pendidikan yang membebaskan. Namun, di era globalisasi yang menuntut keahlian baik skil maupun intelektuil dan kapital maka sistem pendidikan mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan. 

Akan tetapi, yang menjadi persoalan, sistem pendidikan kita dewasa ini kurang menyerap dan mengapresiasi aspirasi masyarakat banyak. Salah satunya yang menjadi polemik dan kontroversi berkepanjangan ialah sistem penilaian akhir siswa/ siswi/ peserta didik secara nasional. Sistem itu adalah Ujian Nasional [UN]. 

UN merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa/ siswi. Dalam beberapa tahun ini kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. 

Di satu pihak ada yang setuju karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN sekolah dan guru akan dipacu untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa/ siswi dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. 

Demikian juga siswa/ siswi didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain tidak setuju karena menganggap UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. 

Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita, dari pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme, ke  arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif. 

Kita memaklumi pula bahwa UN yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif.

Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.

Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan. Seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan. Seperti kasus kebocoran soal, mencontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

Wajah Pendidikan yang Kian Memprihatinkan
Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontra produktif dengan semangat dan ruh pendidikan. Tetapi, pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar. Terutama dalam --meminjam istilah Michel Foaucault, diskursus ilmu pendidikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar